KETIKA pandemi Covid-19 menyerang, komunitas pembuat film Sekewood membuat video Covid-19 permintaan Pemkot Bandung tentang pencegahan Covid-19. Saat pandemi Covid-19, pembuat film Sekewood terpaksa menunda berbagai jadwal dan rencana proyek pembuatan film. Namun, Gagan bersyukur karena masih ada satu dua pihak yang masih ingin menggunakan jasa mereka dibuatkan video. Salah satunya adalah dari Pemkot Bandung yang meminta mereka dibuatkan video tentang pencegahan Covid-19. Singkatnya, video itupun terealisasi dan sekaligus melahirkan sebuah ikon atau maskot pencegahan penularan Covid-19 bagi warga setempat. Maskot itu berupa robot-robotan setinggi kurang lebih dua meter yang dibuat dari bahan tertentu. Robot-robotan yang bisa dimasuki manusia untuk berjalan ke mana-mana ini kemudian difungsikan oleh warga RW 11 menjadi petugas Covid-19. Baca juga Rizieq Shihab Tetap Ditahan di Rutan Polda Metro Jaya Meski Kasus Petamburan Diambil Alih Bareskrim Tugasnya memberi imbauan dan arahan agar tidak berkerumun dan melaksanakan 3M. "Pada saat awal-awal Covid-19, robot ini sering berkeliling memberi imbauan dan arahan, termasuk ke area Pasar Cikutra," ujar Gagan. Berawal dari Iseng Berawal dari iseng, membuat video iklan 17 Agustusan, RW 11 di Cikutra menjelma menjadi kampung film yang kemudian diidentikan sebagai Sekewood Sarang Film. Kampung film Sekewood berasal dari kata Sekepanjang, yaitu kawasan di mana komunitas berbasis masyarakat Sekepanjang ini berada. Tepatnya di Jalan Sekepanjang, Pasar Cikutra, samping RS Santo Yusuf. Baca juga Kampung Film di Cikutra Lahir Berkat Video Iklan 17 Agustusan, Ridwan Kamil Pelesetkan Jadi Sekewood Menurut Inisiator Sekewood, Gagan Ninuk 50, kampung film Sekewood bermula dari iseng-iseng pemuda Karang Taruna RW 11.
222Rumah di Bandung dari Rp. 990.000.000. Cari penawaran terbaik untuk rumah produksi bandung. Kode iklan udeng baranrumah dijual di bandung tengah bandungidr 990.000.000rumah. Produksi ram kawatteras depanlistrik 900watt.Air pamlokasi berdampingan dengan komplek. Kode iklan udeng baranrumah dijua Menelusuri Ketakterhubungan dan Ketaksinambungan dalam Komunitas Film BandungGorivana AgezaWaktu menunjukkan pukul dan Kedai Cas kian disesaki pengunjung. Santos-Bandung Film Festival SBFF memasuki sesi terakhir dalam rangkaian acaranya yang berlangsung selama 20-22 Oktober 2017. SBFF adalah festival yang diinisiasi oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation UNESCO dengan mempertemukan Santos Brazil sebagai kota film dan Bandung sebagai kota desain untuk melakukan kolaborasi pemutaran dengan saling bertukar film asal kota masing-masing. Kedai Cas menjadi lokasi terakhir penyelenggaraan SBFF, setelah sesi-sesi pemutaran sebelumnya dilakukan di tiga tempat Cas sendiri merupakan kedai kopi milik dua sineas Bandung yang terletak di gang seputaran Jalan Dipati Ukur. Bermula dari kerja sama program antara Kedai Cas dengan beberapa pegiat dari Bandung Film Council BFC, lahirlah pemutaran film pendek bertajuk Nonton Film di Gang pada pertengahan 2016. Nonton Film di Gang secara rutin diadakan setiap bulan. Dalam waktu kurang dari satu setengah tahun, Kedai Cas menjelma menjadi tempat nongkrong anak komunitas film Bandung, dan tidak terbatas pada saat gelaran Nonton Film di Gang itu, 22 Oktober 2017, semua orang berbaur di Kedai Cas. Bagi pegiat komunitas film Bandung, SBFF adalah momen penting. Festival ini berhasil menjembatani dan menggandeng berbagai pihak yang cenderung hanya berkutat di lingkaran masing-masing. Momen itu menunjukkan bagaimana sesuatu yang berbeda dan berasal dari kejauhan, seperti film-film Santos, tidak hanya menyatukan para pegiat, melainkan juga membantu komunitas Bandung menyadari dan memahami dirinya sendiri. Sayangnya, keterhubungan di kalangan komunitas film di Bandung masih jauh panggang dari Pemutaran, Ruang PertemuanBersamaan dengan berhentinya program Nonton Film di Gang pada 2018, âkemesraanâ para pegiat antarkomunitas perlahan luntur. Deden M. Sahid, salah satu sineas yang menginisiasi Nonton Film di Gang meyakini bahwa keberadaan ruang fisik amat signifikan dalam berkomunitas di Bandung. Pandangan serupa diungkapkan oleh Roufy Nasution, seorang sineas Bandung yang karyanya relatif berpengaruh bagi pembuat film dari generasi lebih muda. Ia mengatakan bahwa ada kalanya ia membanggakan era Kedai Cas bak sebuah kisah dalam satu dekade terakhir jumlah ruang pemutaran-diskusi seperti Kedai Cas, dan komunitas ekshibisi di skena komunitas Bandung jauh lebih sedikit ketimbang komunitas produksi. Kesenjangan ini berkaitan dengan situasi skena film Bandung yang didominasi oleh komunitas berbasis kampusâbaik berupa program studi maupun unit kegiatan mahasiswa UKM filmâyang mayoritas berkutat di ranah produksi. Sementara itu, kegiatan ekshibisi cenderung dikelola oleh komunitas non-kampus, contohnya bukan berarti komunitas berbasis kampus sama sekali tidak melakukan pemutaran film dan apresiasi. Komunitas berbasis kampus yang berfokus hanya pada aktivitas non-produksi, seperti Sinesofia Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, menjadi semacam anomali. Serupa dengan Sinesofia, Liga Film Mahasiswa LFM ITB adalah contoh lain dari komunitas berbasis kampus yang beraktivitas di semua lini perfilman, mulai dari produksi hingga apresiasi dan kajian. Indicinema BandungObrolan Minggu 1 Perempuan dan DirinyaKomunitas ekshibisi sendiri di Bandung dapat dibedakan berdasarkan film-film yang diputarkannya. Pertama, ekshibisi yang berfokus pada film-film lokal Bandung. Sebagai contoh, Ruang Film Bandung lewat program Klinik Film dan pemutaran bulanan Cinemora Open House oleh Cinemora. Berdasarkan penuturan Roufy dari Cinemora, ekshibisi seperti ini umumnya bertujuan untuk memberikan ruang pada pembuat film pemula untuk mempertontonkan karyanya, tanpa perlu dibebani oleh kualitas dan pencapaian ekshibisi dengan programasi film-film alternatif, seperti yang dilakukan oleh komunitas Bahasinema dan Indicinema. Ekshibisi dengan corak seperti ini cenderung lebih berfokus pada aspek wacana dan kuratorial sehingga asal muasal pembuat film tidak menjadi soal. Ketiga, ekshibisi yang memutarkan film-film panjang. Sebagai contoh, Komunitas Layar Kita. Sepekan dua kali, secara rutin Layar Kita memutarkan dan mendiskusikan film-film panjang terutama film-film klasik, yang didominasi oleh film luar dari keragamannya, salah satu persamaan dan hambatan mendasar di antara komunitas-komunitas ekshibisi ini adalah mayoritas tidak memiliki ruangan pemutaran sendiri. Komunitas-komunitas ini perlu bekerja samaâdapat juga diartikan dengan âbergantungââdengan pihak lain yang memiliki ruangan pemutaran. Misalnya, museum milik pemerintah, lembaga kebudayaan asing, galeri seni, resto dan jumlah komunitas ekshibisi dan ruangan pemutaran menimbulkan keresahan. Kesenjangan antara jumlah produksi film dengan ruang pemutaran berdampak pada keterputusan antara film dengan calon penontonnya. Alhasil, komunitas produksi lokal kesulitan mendistribusikan situasi ini lantas berkenaan dua hal. Pertama, pegiat komunitas, terutama komunitas produksi, cenderung menaruh perhatian lebih pada siapa yang membuat film. Kedua, penonton memiliki kecenderungan untuk lebih memedulikan film sendiri ketimbang siapa pembuatnya. Poin yang terakhir ini dapat dibandingkan dengan hasil pengamatan Roufy pada penonton Sinerame. Sinerame adalah program kerjasama antara Ruang Film Bandung, Co&Co, Cinemora dan sejumlah pihak lainnya, dengan Roufy sebagai juru program. Dalam dua kali gelaran Sinerame, mayoritas penonton dari pemutaran ini berasal dari kalangan umum yang cenderung memusatkan ketertarikan hanya pada dengan Roufy, mantan direktur program Ganesha Film Festival 2018 dan programmer Indicinema, Damar Bagaskoro mencontohkan pemutaran film âTak Ada yang Gila di Kota Iniâ karya Wregas Bhanuteja di Indicinema pada awal 2020. Tiket pemutaran untuk ruangan berkapasitas 50 penonton ludes. Saat itu mayoritas penonton justru berasal dari kalangan umum non-komunitas. Mereka mengetahui film pendek tersebut melalui ulasan media masyhur berbasis daring. Contoh lain, film âKucumbu Tubuh Indahkuâ karya Garin Nugroho menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang Indicinema berdiri. Penonton umum mengetahui film tersebut lewat kontroversi yang diangkat oleh produksi lantas kebingungan mendistribusikan filmnya. Beberapa memilih untuk membuat pemutaran mandiri tanpa bermitra dengan komunitas ekshibisi. Dalam banyak kesempatan, inisiatif itu hanya dinikmati warga komunitasnya sendiri. Di sisi lain, belum banyak penonton umum yang familiar dengan pemutaran film-film alternatif oleh komunitasKondisi ini tentu agak disayangkan. Lewat penonton yang lebih beragam, pegiat komunitas produksi dapat pula bertemu bermacam penilaian penonton dan umpan balik. Dengan menonton karya-karya komunitas lain, suatu komunitas dapat memperoleh perspektif baru dan referensi dalam berkarya. Pertukaran dan perluasan gagasan dimungkinkan. Sebaliknya, publikâtermasuk yang belum familiar dengan pemutaran alternatifâpun dapat bertemu dengan berbagai macam contoh kasus Sinerame dan Indicinema, pengalaman komunitas Bahasinema dapat pula dijadikan komparasi. Program-program pemutaran Bahasinema selalu bekerja sama dengan penyedia ruang yang berbeda. Dalam sesi diskusi di salah satu kafe populer di akhir tahun 2018, penonton-penonton yang mayoritas berasal dari segmen pengunjung kafe mengatakan pengalaman itu kali pertama mereka berkenalan dengan film-film pendek alternatif dan mereka Kristianto, programmer Jogja-NETPAC Asian Film Festival asal Bandung, berpendapat komunitas Bandung cenderung hanya âasyik sendiriâ dalam lingkarannya masing-masing. Mahfum bila sosok pegiat komunitas seperti Deden dan Roufy menyayangkan hilangnya Nonton Film di Gang, lantaran keterhubungan antarkomunitas meluntur seiring itu. Sebab, bersamaan dengan hadirnya ruang fisik dan momen, dimungkinkan pula terjalinnya keterhubungan dan kebersamaan. Sebs Cine ClubShooting Maybe Someday Another Day But Not TodayTak Ada Menara Gading yang Tak RetakJanuari 2022 lalu, Coffie Coordination for Film Festival in Indonesia memulai rangkaian diskusi publik yang mempertemukan penyelenggara berbagai festival di berbagai kota, dan Bandung menjadi kota pertama. Saat itu hadir empat narasumber yang mewakili empat penyelenggara festival di Bandung Ganesha Film Festival Ganffest ITB, Bandung Independent Film Festival BIFFâsebelum dikelola mandiri di luar kampus, BIFF awalnya festival film asal kampus Institut Seni Budaya Indonesia ISBIâ, Jatinangor Film Festival Universitas Padjajaran, dan International Photography and Short Movie Festival IPSM Universitas Telkom. Rupanya dari keempat narasumber hanya Adam yang merupakan pengelola BIFF yang pernah datang ke festival âtetanggaâ. Ia mengunjungi Ganesha Film Festival. Tiga pengelola sisanya hanya familiar saja dengan festival dari pandemi COVID-19 sejak Maret 2020, ada dua catatan dari diskusi daring itu. Pertama, festival film pada skena komunitas Bandung, sebagaimana komunitas produksi, juga berada pada institusi-institusi pendidikan tinggi. Kedua, pentingnya distribusi pengetahuan baik secara vertikal, yakni dalam komunitas yang sama dari senior ke juniorâseperti tugas âsafari festivalâ, maupun secara horizontal yakni antarkomunitas dan antarinstitusiKedua hal tersebut berkaitan dengan persoalan keberlangsungan dan sinergi antarkomunitas yang membentuk jejaring dan ekosistem skena film Bandung. Seperti yang sudah disebutkan pada bagian tulisan sebelumnya, skena Bandung didominasi oleh komunitas berbasis kampus, disertai tendensi keterpisahan dalam jejaring komunitas di Bandung. Kedua kondisi ini dapat lebih dipahami jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa institusi pendidikan memiliki jaminan atas keberlangsungan komunitas sehingga secara kelembagaan komunitas-komunitas ini cenderung beroperasi sendiri-sendiri. Kendatipun ada kerja sama antarkomunitas, sebagian bersifat pendek dan hanya bagian kecil dalam satu acara, alih-alih kemitraan strategis jangka panjang. CinemoraShooting The Boy With Moving ImageLebih lanjut, komunitas produksi asal Bandung juga amat minim melakukan kerjasama dengan komunitas dari daerah lain. Seperti yang dikatakan Yustinus, kerjasama yang ada bersifat personal yang mana didasarkan pada portofolio individu. Sementara pada ranah ekshibisi, kerjasama komunitas Bandung dengan daerah lain mungkin bisa dihitung dengan ada empat âprivileseâ yang dimiliki komunitas berbasis kampus. Pertama, sistem pendanaan yang lebih stabil, yang selanjutnya dilengkapi dengan sistem manajerial pengelolaan komunitas dan mekanisme akuntabilitas. Kemudian, regenerasi pengurus dan anggota yang ajeg. Terakhir, potensi keberlanjutan aspek transfer pengetahuan yang lebih dimungkinkan. Melalui sistem regenerasi yang fungsional, transfer pengetahuan dapat diwujudkan, meski perlu digarisbawahi bahwa itu bukanlah pada komunitas non-kampus menanggung beban lebih berat karena tidak ada pembaharuan personil secara konstan berkala. Pengelolaan komunitas malah terlalu bertumpu pada personal yang kemudian menjadi sosok âabadiâ ketokohan dan patronasi. Sepintas gaya pengelolaan semacam ini âamanâ karena dibayangkan ada perencanaan dan pelaksanaan jangka panjang, ketimbang pergantian pengelola yang terjadi secara cepat di komunitas yang kadang terjadi adalah kegagalan di dua sisi. Perencanaan dan pengembangan jangka panjang tidak berjalan, serta tidak terbentuk sistem pengelolaan yang mapan. Ketika para patron tidak lagi terlampau aktif, komunitas menjadi mandek sementara pengetahuannya bahkan belum sempat didistribusikan. Pun ketika tokoh-tokoh ini tetap aktif, stabilitas rentan tergelincir menjadi stagnasi, bahkan kemunduran, karena nyaris tidak ada Deden, Yustinus, Roufy, Damar Bagaskoro, maupun Malikkul Saleh sekretaris jenderal Bandung Film Commission berpendapat bahwa secara general regenerasi komunitas di Bandung cenderung melempem. Kekhawatiran itu ditujukan pada belum adanya sosok pembuat film dan juru program generasi baru yang menonjol selama beberapa tahun terakhir. Pembaharuan personil tidak serta merta sama dengan kontinuitas perkembangan âoutputâ manusianya. Di skena Bandung, menurut Malikkul, secara general sulit ditemukan orang dengan kemampuan kuratorial yang mumpuni. Akhirnya banyak pemutaran yang kualitas programasinya setengah matang, dan berakhir menjadi kegiatan yang terjadwal ranah produksi, Roufy menandai kecenderungan pembuat film generasi baru justru mengekor karya-karya terdahulu yang sudah lebih dulu masyhur. Roufy melihat pula bagaimana setiap komunitas produksi sudah memiliki gayanya masing-masing yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga pembuat film sulit âmembebaskan diriâ dari pola tradisi tersebut. Konsekuensinya, minim karya-karya yang segar dan memiliki terobosan. Kecenderungan untuk hanya berkutat pada komunitas masing-masing, dan atensi hanya ditujukan pada ranah produksi saja adalah salah satu faktor utama dari situasi ini. Roufy mencontohkan bagaimana ia dulu justru bergabung dengan komunitas non-produksi di luar kampus demi menyaksikan beragam film dan belajar cara membacanya. Deden yang juga merupakan seorang dosen menambahkan bahwa pengetahuan yang diperoleh di bangku perkuliahan tidaklah cukup jika tidak disertai pengalaman riil belajar secara langsung âlapanganâ.Eksistensi dalam Dunia yang DiisolasiDari sebuah kotak dus muncullah seorang anak laki-laki. Seiring waktu ia mulai bertanya-tanya meratapi eksistensinya ââŚmengapa aku harus seperti mereka? ⌠aku mencari sesuatu yang tidak aku ketahuiâŚâ. Ia menyaksikan kehidupan manusia-manusia lain beserta segala konflik dan krisis eksistensialnya. Ia pun menghindari interaksi dengan mereka. Anak laki-laki ini lantas memilih berlari pulang âmeninggalkan duniaâ untuk kembali ke dalam penggalan adegan dalam film âWhispering Boxâ 2014 karya Irvan Aulia. Irvan Aulia adalah nama yang disebut-sebut oleh Yustinus dan Roufy sebagai salah satu sutradara muda yang karyanya memiliki kekhasan dan berdampak pada generasi selanjutnya, bersanding dengan Bihar Jafarian, Prama Yodha, Gilang Bayu Santoso, Gerry Fairus, Mustafa, dan Roufy sendiri. Kisah dalam film âWhispering Boxâ menjadi gambaran, sekaligus pula afirmasi, atas tendensi komunitas Bandung yang gemar berjibaku hanya pada âkardusâ baca lingkaran-nya untuk berkutat hanya pada lingkup hidup âmikroâ personal, domestik, cakupan kecil merembesi narasi-narasi dalam film komunitas Bandung. Kisah-kisah ini seperti mereka ulang kebiasaan hidup dalam âmenara gadingâ masing-masing komunitas sehingga berjarak dari kompleksitas kenyataan. Hal ini kemudian terwujud dalam isu yang diangkat dan digambarkan dalam film, dan bagaimana problematika itu disikapi dan diselesaikan oleh tokoh dalam Bagaskoro menambahkan bahwa film komunitas Bandung bercorak apolitis. Konflik yang hadir dalam narasinya seperti dicabut dari realitas dan absen konteks sosial. Pun ada kecenderungan untuk mengisolasinya dalam lingkup domestik, seakan-akan sama sekali tidak ada keterkaitan dengan dunia di umum ada penutup atau âsolusi yang memuaskanâ atas konflik diangkat oleh film. Situasi ini dapat terjadi karena keengganan untuk mendekati dan/ atau kegagalan pembuat film dalam memahami carut-marutnya realitas. Akibat kenyataan yang disimplifikasiâhanya melihat hal yang di permukaan dan familiarâ, maka persoalan seakan-akan dapat diselesaikan dengan cara yang mudah saja. Malikkul mengamini pendapat Damar yakni film-film Bandung cenderung belum memiliki kedalaman isu. Sementara Yustinus mengaitkannya dengan sejumlah karakteristik, yakni 1 gaya populer dan membicarakan hal-hal di permukaan; 2 kecenderungan narasi inspiratif motivasional dan sugar coating; 3 reproduksi nilai normatif arus tersebut, terutama dari Damar dan Yustinus kian menegaskan kecenderungan untuk mengedepankan aspek internal saya dan kelompok-saya. Seolah-olah kesulitan hidup yang dialami oleh seseorang hanya terkait dengan dirinya saja, dan individu bukanlah bagian dari dunia. Secara implisit hadir keyakinan bahwa merupakan tanggung jawab individu untuk mengembalikan kekacauan pada kondisi ideal. Persoalan dan âbencanaâ adalah konsekuensi âhukumanâ dari kegagalan individu. Narasi ideal inspiratif muncul seiring dengan âkesabaranâ tokoh melewati masalah, sambil tetap mempertahankan moralitasnya yang hitam-putih, alih-alih terkontaminasi kemuskilan realitas. Di titik iniâterutama jika kembali mengacu pada pendapat Yustinusâmenjadi kentara bahwa sekalipun diproduksi oleh komunitas, film alternatif Bandung cenderung tidak mengarah pada pembentukan wacana lanjut, tendensi untuk menghindari kompleksitas keadaan tidak hanya muncul dalam narasi filmnya, melainkan juga muncul dalam ruang-ruang pemutaran dan diskusinya. â⌠mereka tidak punya latar belakang programasi ekshibisi yang memadai, jadi mereka bikin pemutaran yang tanpa programasi ⌠baik itu yang dilakukan komunitas di dalam kampus maupun di luar kampus. ⌠lebih ngepop ⌠kurang serius ⌠mungkin itulah ciri khas Bandung. Bandung tuh gak mau mikir yang terlalu susah-susah, gak mau dalem-dalem mikirnya, jadi ya seru-seruan aja,â demikian Malikkul menjelaskan gaya ekshibisi di itu Roufy menjelaskan pendekatan yang ia ambil melalui Cinemora Open House sehingga pemutaran rutin bulanan yang baru dimulai tahun lalu ini hampir selalu penuh sesuai kapasitas maksimal penonton. Ketika di saat bersamaan, akibat pandemi, justru banyak ruang pemutaran yang non-aktif.â⌠itu selalu full aja, bayar tiket pun sepuluh ribu. Ketika aku buat screening itu memang ada perubahan ambience yang aku coba, gimana waktu diskusi itu jangan serius ⌠duduk bersila, ruangnya akrab banget, deket, kita sama penonton tuh deket karena saung. Jadi mereka merasa cair juga. âŚ. Filmnya serius tapi dibawa becanda .. aku rasa kultur di Bandung tuh bodor, jangan terlalu serius-serius banget. Kalo ada orang serius di Bandung kayanya malah dicengin ⌠Kayanya orang di sini gak bisa dibawa terlalu seriusâŚâdemikian penjelasan Roufy mengenai âresep suksesnyaâ. Lewat penuturan Malikkul dan Roufy, serta pendapat Deden dan Yustinus, secara tersirat ada anggapan yang bersifat dualistik, yakni antara sesuatu yang âseru dan ringan populerâ dengan sesuatu yang "serius, mikir dalem, dan rumitâ. Oposisi ini analog dengan gambaran yang ditunjukkan oleh film âWhispering Boxâ 4 GA ProductionShooting WordsDalam pengamatannya pada film-film pendek komunitas Bandung yang dirilis pada tahun 2019-2020, Damar mencatat ada empat corak cerita yang dominan 1 horor, 2 elemen imajiner yang menginterupsi realitas, 3 konflik domestik yang terisolasi, umumnya terkait figur paternalistik, 4 gaya absurd âRoufy-ismeâ dan para filmmaker yang terinspirasi olehnya.Dari catatan Damar tersebut, kisah tentang elemen imajiner yang menginterupsi realitas, pun isolasi konflik pada ruang domestik, seperti kembali mengafirmasi adanya pola untuk âmemalingkanâ diri dari kompleksitas kenyataan atau upaya pemberian solusi pintas. Sementara pola narasi yang berpusat pada figur paternalistik berkenaan dengan tidak hanya dengan tendensi mengawetkan moralitas normatif, melainkan juga mengisyaratkan corak film âLoperâ 2013 karya alm Dendie Archenius dikisahkan ada seorang suami yang tanpa sengaja menerima koran âajaibâ dari masa depan. Dalam surat kabar itu termuat berita bahwa akan terjadi malapetaka di rumahnya, dan ia menjadi korbannya. Alih-alih melarikan diri ke luar rumah, ia justru semakin mengurung diri di rumah dan berwaspada untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Malam itu, pelaku yang berniat jahat muncul istri dan teman perempuannya. Setelah serangkaian upaya membela diri, sang suami selamat, sementara istri dan temannya tewas. Pagi harinya semua nampak baik-baik saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa di rumah itu. Sang suami akhirnya membuka pintu pagar. Ia berdiri di ambang batas antara area teras rumahnya dengan jalanan demi berbincang dan berterima kasih kepada sang loper âLoperâ yang menjadi official selection Ganffest 2014 secara tersirat sudah mengamini argumen Damar. Sekalipun berdiam diri dalam lingkaran masing-masing membahayakan bagi keberlangsungan dan perkembangan individu dan komunitasnya sendiri, pola tersebut masih tetap menggejala di skena komunitas film Membara, Minim RencanaKesamaan minat pada film merupakan alasan utama dari terbentuknya komunitas-komunitas ini. Di samping itu, adapun alasan profesional, misalnya pada mahasiswa kampus jurusan film dan rumah produksi. Minat âpassionâ adalah bahan bakar untuk memulai dan menggerakkan tentu minat saja tidak cukup. Damar misalnya membuka diskusi mengenai banyaknya pegiat yang âberguguranâ dari komunitas, serta komunitas atau kegiatan yang âgulung tikarâ lewat sebuah pertanyaan âapakah memang naturnya seperti itu, atau itu mismanajemen?â. Sementara Malikkul mewanti-wanti bahwa komunitas tidak bisa hanya mengandalkan âseru-seruanâ saja, karena dalam pengelolaan diperlukan komitmen dan kemampuan manajerial. Ia menambahkan, komunitas akan sulit dikelola jika hanya mengandalkan sisa waktu luang dari membandingkan pandangan dari Damar dan Malikkul dengan pola regenerasi di skena komunitas Bandung, ada benang merah. Dalam konteks pegiat komunitas film dari kalangan mahasiswa, beberapa tidak melanjutkan beraktivitas di komunitas setelah menamatkan studinya. Orang datang silih berganti di komunitas kampus. Ketika pelajar tersebut sudah terjun ke dunia kerja, maka tuntutan untuk berkomitmen pada komunitas menjadi semacam beban ganda. Tidak sedikit pula pegiat komunitas Bandung yang lantas memilih untuk berpindah ke Jakarta karena alasan pekerjaan, baik masih dalam ranah yang berkaitan dengan perfilman maupun bidang yang berbeda. Ibukota, yang hanya berjarak dua jam dari Bandung, masih dianggap lebih âmenjanjikanâ.Malikkul maupun Deden adalah pengurus dari Bandung Film Commission BFCâkomisi film daerah yang juga berfungsi sebagai penghubung komunitas-komunitas di Bandungâyang berdiri Maret 2019. Meski demikian keduanya menyadari bahwa BFC belum berfungsi maksimal sebagai âhubâ penghubung antarkomunitas karena lembaga sendiri tidak memiliki pendanaan dan pengurusnya tidak bisa total mencurahkan waktu dan fokus lantaran â⌠masih sibuk dengan periuk nasi nasing-masingâ. Rentang MitraEkshibisi / FestivalDari 10 kota, survei menemukan komunitas yang berfokus pada aktivitas ekshibisi berhasil menggaet beragam institusi di luar lingkaran komunitas film. Perusahaan atau institusi swasta adalah mayoritas kolaborator bagi komunitas penyelenggara pemutaran festival dan non-festival. Pemerintah ada di peringkat kedua, yang kemudian disusul oleh komunitas akar pengamatannya, Malikkul berusaha menjabarkan âkekeliruan manajerialâ yang kerap terjadi dalam pengelolaan komunitas. BFC pun bukan pengecualian. Manajemen komunitas terlalu bertumpu pada âpassionâ dan momen-momen âeventualâ. Pada praktiknya, komunitas bekerja secara impulsif sporadis, serta tidak memiliki visi jangka panjang berkesinambungan. Perencanaan termasuk rencana pelaksanaan, sistem kerja, strategi, serta nilai dan target tidak terjelaskan. Dan terakhir, minimnya orang yang berkomitmen menyayangkan disfungsinya lembaga yang dibentuk guna menghubungkan dan mewadahi komunitas-komunitas film di Bandung. Ia mengingatkan, jika lembaga representatif gagal menjadi âpayungâ yang menaungi, maka akan membuat komunitas-komunitas di bawahnya, pada akhirnya tetap berusaha contoh kasus Kedai Cas, dari contoh kasus BFCâyang pengurusnya rata-rata adalah âperwakilanâ dari komunitas-komunitas di Bandungâiktikad untuk saling terhubung satu sama lain pun tidak cukup akibat ketiadaan âlogistikâ dana dan ruang fisik yang dapat dijadikan ruang aktivitas bersama di lokasi strategis. Seperti yang digelisahkan Deden â⌠logistik gak ada cuma mengandalkan semangatâ. Aktivitas pada skala kecil mungkin terselamatkan lantaran dana bukanlah faktor dominan. Di sini modal sosial akses pada sumber daya manusia dan jejaring lebih penting. Namun, âpada skala kerja yang lebih besar dan mutakhir, tidak bisa tanpa danaâŚâ, demikian menjadi lebih pelik pada komunitas di luar kampus. Pada satu pihak, komunitas dituntut untuk mampu membiayai operasionalnya. Di saat bersamaan, para pegiatnya mesti membiayai ongkosâtidak hanya uang, melainkan juga waktu dan tenagaâketerlibatannya dalam aktivitas komunitas. Padahal, pertama-tama, pegiatâkhususnya mengacu kepada mereka yang sudah bekerjaâmesti pula mencari nafkah untuk kebertahanan kehidupannya. Tidak mengherankan jika banyak mahasiswa yang berhenti dari aktivitas komunitas ketika sudah terjun ke dunia kerja. Dari sini dapat dipahami mengapa ada pola âcome and goâ.Lebih lanjut, keterputusan juga menggejala di skala yang lebih besar yakni antara komunitas dengan pemerintah. Di titik ini, BFC berada pada posisi yang tidak mudah karena sekalipun memosisikan diri sebagai âkonektorâ penghubung, mediator posisi tawar yang dimilikinya relatif rendah. Kebijakan, termasuk juga pendanaan dan fasilitas, yang disediakan oleh pemerintah kerap kali tidak tepat guna. âPemerintah lack of knowledge and less inisiative ⌠pemerintah kurang mendengarkan komunitas ⌠tidak sesuai kebutuhan karena tidak minta saranâŚâ, demikian kekecewaan Malikkul. Keresahan lainnya muncul dari Yustinus perihal ketidakmerataan dukungan material dari pemerintah. Hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan pemerintah terhadap kondisi skena, sehingga menimbulkan âkesalahpahamanâ. Pemerintah dianggap âmesraâ dengan komunitas-komunitas tertentu saja. Strategi KomunikasiSeiring dengan tingginya penetrasi media digital di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, media sosial dan aplikasi pesan singkat menjadi dua medium utama yang digunakan dalam memasarkan acara pemutaran Memisahkan, Internet MenyatukanPandemi COVID-19 telah mengubah kondisi skena komunitas film di Bandung. Berbagai komunitas, terutama komunitas berbasis kampus, memindahkan aktivitasnya ke ruang virtual. Festival film seperti Ganffest 2022 diselenggarakan secara daring, sedangkan BIFF menunda waktu penyelenggaraannya selama setahun menjadi Juli 2022. Sejumlah kegiatan pemutaran alternatifâtermasuk lembaga swasta yang bekerja sama menyediakan ruangan pemutaranâ berhenti beroperasi akibat pandemi. Bahkan ketika pandemi sudah terkendali dan berbagai kegiatan luring kembali dimungkinkan, bioskop alternatif seperti Indicinema masih belum aktif kembali. Secara kontras, seperti yang dituturkan Deden, pandemi telah membuat rumah-rumah produksi justru kebanjiran tawaran pekerjaan. Tingginya permintaan akan konten audio-visual seiring dengan semakin masifnya aktivitas di dunia digitalBeberapa tahun terakhir, dan kemudian mencapai puncaknya ketika pandemi, memperlihatkan bagaimana media sosial dan algoritma memiliki andil signifikan dalam menyebarluaskan informasi pemutaran alternatif. Sinerame yang dimulai per Juli 2022 menunjukkan tren baru, yakni kehadiran penonton dari kalangan umum bahkan berasal dari luar Kota Bandung yang mengetahui kegiatan pemutaran film lewat informasi internet. Agaknya tidak beroperasinya bioskop berjaringan di pusat-pusat perbelanjaan untuk waktu yang relatif panjang akibat pandemi telah menggeser kebiasaan penonton. Ketersebaran film-film alternatif di internet membuat khalayak melirik tayangan film di luar bioskop arus dari konsekuensi yang dibawa oleh algoritma, internet mengeksplisitkan cara kerja jejaring menghubungkan dan menyinkronkan hal-hal yang sebelumnya terpisah. Komunitas-komunitas Bandung yang cenderung terpisah-pisah, berkutat dalam lingkarannya masing-masing, dan tidak sinergis barangkali perlu mereorientasi cara kerjanya. Komunitas sendiri menyiratkan adanya keterhubungan kolektif antar pihak secara sinergis, termasuk pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Dalam mengupayakan keterhubungan dan kesinambungan, kemampuan untuk melihat relevansi mutlak diperlukan dalam berkomunitas maupun berkarya; bahwasanya berbagai hal saling terhubung, memengaruhi, dan berdampak. Karya-karya pilihan Kota Bandung